Petani Milenial OKI Ubah Sabut Kelapa Jadi Pupuk Organik Hasilkan Pundi Rupiah
Novriansyah menyatakan bahwa peralihan pupuk kimia ke pupuk
organic baru dijalani sekitar 4 tahun terakhir dengan luasan lahan yang digarap
sekitar satu hektar.
"Jadi sampai sekarang lahan yang benar-benar full
organik seluas seperempat hektar, sisanya ¾ hektar statusnya masih semi
organik," ujarnya saat ditemui, Selasa (12/7/2022) pagi.
Dimana saat awal perubahan pemberian pupuk organik terdapat
kendala yang dirasakan karena hasil panen jauh menurun.
"Pada tahun pertama peralihan pemberian pupuk organik
satu hektar hanya menghasilkan sekitar 4 ton gabah kering giling (GKG).
Tetapi di tahun kedua, ketiga semakin meningkat dan untuk
tahun ke empat kemarin sudah kembali normal seperti saat memakai pupuk kimia
yaitu 6 -7 ton," ungkapnya.
Dia mengatakan kedepan bakal ada penambahan jumlah lahan
yang akan menerapkan pemupukan secara organik.
"Insyaallah kedepan ada penambahan dari lahan
persawahan milik tetangga kiri maupun kanan. Sekitar 7 - 8 he
Diceritakan beras organik memiliki kualitas yang bagus
dengan rasa yang lebih segar dan wangi. Apalagi sudah dijamin lebih sehat untuk
dikonsumsi.
"Kalau untuk sementara ini, rata-rata langganan yang
membeli hanya sebatas orang kantor ataupun warga yang mapan. Kalau masyarakat
untuk banyak yang enggan beli beras ini dikarenakan harga jual lebih mahal
yaitu Rp 15.000 perkilogram," katanya cukup sulit memasarkan beras
organik.
Menurutnya cukup sulit beradaptasi lahan yang sebelumnya
diberi pupuk kimia dan beralih dengan pemberian pupuk organik dikarenakan kadar
residu dari zat-zat kimia yang telah tercampur kedalam tanah.
Masalahnya banyak lahan-lahan disini yang masih sakit. Jadi
kita harus nyari-nyari lahan yang sehat atau bukaan baru.
Dimana kalau lahan lama sudah terlalu banyak residu dari
zat-zat kimia jadi agak susah untuk proses organiknya," jelas dia.
Berbekal pengalaman dan pelatihan yang telah di Ikuti selama
ini. Novriansyah mampu membuat sendiri 4 macam jenis pupuk cair dan 1 macam
pupuk padat dengan bahan-bahan utama yang didapatkan dari sekitar rumahnya.
Mulai dari pupuk padat bernama kohe, pupuk cair urea,
fosfat, pengganti KCL, dan pupuk PGPR.
"Bahan pembuatan pupuk organik cair (POC) urea yaitu
rumput-rumput lalu dicacah dan ditambahi dengan gula cair dan bakteri EM4 dan
tunggu dipermentasikan selama kurang lebih 15 - 30 hari,"
"Lalu POC fosfat dengan bahan bonggol pohon pisang
kemudian dicacah halus dan diberikan molase (gula cair) serta tambahkan bakteri
EM4 secukupnya tunggu selama 1 bulan,"
Kalau pupuk pengganti KCL bisa diolah dari serabut kelapa
dicacah lalu diberi air tambahkan juga gula cair dan beri bakteri EM4 dan
fermentasi juga selama 1 bulan," sebutnya.
Terakhir pembuatan POC PGPR agak ribet bahannya yaitu dari
akar-akar bambu, akar putri malu atau akar pisang yang banyak mengandung
bakteri.
"Lalu dicampur air matang dan direndam selama 5 hari
setelah dapat biangnya dapat barulah dicampur dedak yang sudah direbus dan
tambahkan terasi serta campurkan dengan gula cair. Tinggal tunggu selama 15 -
30 hari baru siap disemprotkan," tuturnya.
Dengan sistem pembuatan pupuk organik ini, dirinya dapat
melakukan penghematan biaya perawatan sawah miliknya.
Dimana seluruh pembuatan POC tersebut hanya membutuhkan
molase (gula cair) dan bakteri EM4.
"Jadi hanya dua bahan yang dibeli yaitu gula cair
perliter Rp 20.000 dan bakteri EM4 perbotol hanya Rp 35.000. Sedangkan bahan
baku lainnya bahan dari sekitar atau mudah didapat," terangnya biaya jauh
lebih irit jika dibandingkan membeli pupuk kimia.
Dirinya berharap agar pemerintah ataupun pihak terkait dapat
membantu dari segi pemasaran beras organik tersebut. Agar lebih banyak petani
yang beralih memakai pupuk organik.
"Kalau bisa kami ini diarahkan dimana tempat penjualan
yang mau menerima beras organik dalam jumlah banyak. Serta diberikan bantuan
untuk mengurus ijin untuk mendapatkan label beras organik dan Standar Nasional
Indonesia (SNI)," tuturnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar