Perjalanan Mental, Spiritual Melawan Virus Corona
Tenggorokan yang sakit, pegal dan linu serta demam mulai
menyerang di hari ke dua pulang dari perjalanan itu. Puncaknya di malam Jum’at
saya tidak bisa memejamkan mata. Pukul 02.00 WIB dini hari masih terjaga. Badan
yang panas, kulit terasa terbakar namun dingin menggerogoti hingga ke tulang.
Ibu yang malam itu kebetulan menginap di rumah turut terjaga. Diambilnya minyak
kayu putih, ibu melumurkan minyak ke seluruh tubuh tapi rasa sakit tak kunjung
hilang. Pukul 03.00 fajar, saya beranikan ambil wudhu. Dingin air wudhu
membasahi tubuh. Saya bentangkan sejadah dua rakaat Sholat Tahajud ditambah
Sholat Hajat ditunaikan seraya doa panjang tak henti dimunajatkan.
Hingga azan Subuh sakit tak kunjung hilang. Pagi hari nya
saya putuskan untuk memeriksakan diri ke Dinas Kesehatan. Pagi itu mereka baru
usai laksanakan apel. Kepala Dinas Kesehatan Iwan Setiawan tampak masih berdiri
di depan pintu masuk utama. Saya utarakan maksud untuk di tes antigen. Tak lama
petugas surveilans menyiapkan peralatan. Saya diperiksa dengan satu kali
colokan di rongga hidung. Sakit memang. Air mata keluar seiring rongga hingga
hidung yang nyeri.
“Wah ini reaktif. Ada dua garisnya” ujar Pak Mus petugas
surveilans Dinkes OKI yang biasa melakukan tracing selama Pandemi Covid-19.
Bisa jadi orang ini yang paling banyak mengambil sampel Covid-19 di Ogan
Komering Ilir. “Biasa saja, jangan takut, saya sudah beberapa kali kena”
ujarnya menguatkan. Selorohan pria tambun ini sedikit memberi motivikasi bagi
saya orang yang baru saja di vonis terpapar Covid-19.
“Kalau Bapak berkenan
kami akan lakukan tracking ke rumah, dan langsung tes PCR untuk meyakinkan”
ujar Mus. Saya mengiyakan karena saya yakin dengan langkah yang tepat penularan
Covid-19 klaster keluarga bisa dihindari. Tidak bisa dibayangkan betapa
susahnya kami yang memiliki anak-anak yang masih kecil ditambah istri baru
melahirkan dua pekan sebelumnya jika harus terpapar klaster keluarga.
Setiba di rumah istri dan ibu menyiapkan tempat karantina
mandiri bagi saya. Pukul 09.00 pagi petugas dari Dinas kesehatan mendatangi
rumah dengan tenang agar tak menimbulkan kecuriagaan tetangga. Satu per satu
orang dirumah di tes antigen. Mulai dari istri, ibu hingga pengasuh anak.
Alhamdulilah hasilnya semua negatif. Keadaan ini membuat saya lebih tenang
karena tidak menularkan keanggota keluarga lain.
Hari itu Jum’at, saat kaum laki-laki muslim bersiap sholat
Jum’at saya masih terguling lemah. Sekujur tubuh nyeri, persedian seperti
terlepas dari ikatannya. Mulut pun mulai pahit. Saya rasakan indra perasa mulai
abai. Hidung sudah tidak berfungsi sama sekali.
Pukul 13.00 Adik yang bekerja di salah satu rumah sakit
terbaik di Kota Palembang meminta untuk langsung saja datang ke rumah sakit
agar saya mendapat perawatan dan menghindari penularan ke anggota keluarga
lain. Jarak Kayuagung-Palembang sekitar 30 Menit. Meski lewat tol tentu saya
harus menyetir sendiri tidak mungkin se mobil dengan anak-anak atau meminta
bantuan orang lain karena pada prinsipnya saya orang yang sungkanan meminta
tolong kepada orang lain apa lagi di dalam tubuh telah ada penyakit yang mudah
menular.
Dengan kepala pusing dan badan yang demam saya putuskan
menyetir mobil sendiri. Untung saja lalu lintas sepi siang itu. Saya melaju
dengan kecepatan rata-rata 60 hingga 80 Km per jam saja. Sesampai di rumah
sakit saya diarahkan ke Unit Gawat Darurat (UGD) untuk mendapat tindakan.
Dengan berbekal kit hasil swab antigen dari Dinkes petugas rumah sakit
melakukan tindakan medis.
Tentu tidak mudah bagi rumah sakit untuk mengambil keputusan
pasien harus rawat atau cukup isolasi mandiri.
Diperlukan serangkaian tes untuk memastikan tindakan medis
itu. Hampir 3 jam saya terbaring lemah di bad ruang UGD itu. Setelah dilakukan
Rapid Tes dan CT Scan hingga Rontgen, saya dipastikan positif Covid dan harus
menjalani rawat inap.
Tubuh mu, bukan milik mu lagi!
Bagi penyintas Covid-19, tubuhnya bukan milik dia lagi.
Virus yang menjalar di dalam tubuh benar-benar mengambil alih fungsi-fungsi
tubuh. Meski merasa sehat dan bugar virus itu bisa menimbulkan gejala-gejala
tidak terduga. Sakit perut, mules, pusing kepala jadi keluhan sehari-hari.
Hari-hari pertama masa isolasi saya tidak sendirian di rumah
sakit itu. Sudah ada puluhan pasien lain yang lebih lama dari saya. Usia mereka
rata-rata di atas kepala 4 dengan berbagai keluhan yang diderita. Ada Pak Min
(67) kakek renta yang terpapar Covid setelah menjalani operasi tempurung
dengkulnya akibat terjatuh dari sepeda. Bukan hanya dengkul yang sakit, kini
Covid-19 juga merongrong tubuh rentahnya. Ada pula Pak Fuad (48) beserta
temannya Ari (40) karyawan BUMN asal Jakarta yang terpaksa memperpanjang masa
tugasnya di Palembang akibat terpapar Covid-19 di salah satu kota minyak di
provinsi ini. Dari keduanya, yang paling mengenaskan adalah Fuad setiap malam
dari balik tembok kamarnya saya mendengar batuknya yang melengking mnyesakan
dada bagi yang mendengarnya. Ada pula pasangan Cece Lin (53) dan suaminya Lee
(55) yang setiap pagi semangat jalan pagi ketika dikeluarkan oleh perawat.
Namun sayang karena terlalu semangat berjalan Cece Lin ambruk pagi itu dan
harus diinpus hingga beberapa botol. Lain pula cerita Abang Ari (38) tahun
seorang surveyor perkebunan asal Riau yang menceritakan keluh kesahnya jauh
dari keluarga setelah diisolasi di rumah sakit.
Begitupun saya. Tidak lebih baik. Setiap hari puluhan pil
harus saya telan untuk mengelemenasi virus dari dalam tubuh dan mengurangi
setiap gejala sakit. Mulai dari tablet seukuran jari hingga sirup batuk berasa
legit. Setiap hari dokter dan perawat telaten merawat pasien meski dengan APD
lengkap. Saya tidak bisa membayangkan alangkah ribetnya mereka dengan kostum
seperti astonot itu. Dokter Dini yang begitu ramah menyapa di balek layar
handphone yang diarahkan seorang perawat laki-laki. “Bagaimana keadaannya Pak?
Hasil CT Bapak rendah sekali. Tapi imun Bapak lumayan baik. Kita lakukan
lanjutkan perawatan 5 hari lagi kita tes lagi” ujar Dokter Spesilis penyakit
dalam itu.
Betul saja setelah Rapid tes kedua CT Value saya masih
rendah hanya naik dua digit dari sebelumnya. Pada kasus Covid-19 nilai Cycel
Threshold atau CT Value umumnya dilaporkan sebagai bagian dari pemeriksaan
RT-PCR. CT value dilaporkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, infeksius
pasien dan memperkirakan prognosis penyakit.
Dilansir dari laman alomedika.com sejumlah studi juga
menyebutkan bahwa Ct Value dari RT-PCR berbanding terbalik dengan kemampuan
virus untuk ditransmisikan ke orang lain. Dengan kata lain semakin tinggi CT
Value maka semakin rendah pula kemungkinan virus ditransmisi. Hasil tes PCR
yang masih positif dengan CT yang rendah membuat saya semakin drop. Masa
isolasi berhari-hari serasa sia-sia.
Fase Kejiwaan Penyintas Covid-19
Ketika kita terkena Covid-19 maka kita menghadapi beberapa
fase kejiwaan. Fase pertama kita akan terdiskriminasi. Pada saat itu yang ada
adalah rasa malu jangankan teman karib, keluarga bahkan dengan anak dan istri
pun kita harus terpisah. Dari tautan Instagram yang dikirim istri saya
mempelejari fase-fase itu dari pakar kecerdasan spiritual Ari Ginanjar Agustian
serta Level Emosi (Power of Force) David Hawkin, saya mempelajari teknik
penguasaan mental spiritual untuk penyembuhan.
Melansir Hawkins dan Ari, fase pertama penderita Covid
berada pada level energi 20. Level yang paling rendah, paling berbahaya. Saat
harga diri mulai hilang, itulah masa terpuruk. Masa hukuman mati yang zaman
dulu diberikan kepada orang yang terusir dari kampung halamannya. Ini sangat
berbahaya sekali. Kedua, level 30, yaitu ketika kita sudah mulai menyalahkan
diri sendiri dan itu membuat penyakit kian bertambah. Kemudian level 50 dimana
mulai tumbuh rasa apatis, merasa tidak ada harapan, merasa semua dalam derita
kita berada pada level kesedihan. Level ini tidak kurang bahanya dari level
sebelumnya. Level 75 saya berada pada zona penyesalan. Mengapa harus pergi
kesana, mengapa harus makan disana, mengapa harus berkumpul dengan orang-orang
disana.
Seharusnya Covid ini tidak kena di saya. Demikian
pertanyaan-pertanyaan penyeselan datang dari pikiran. Ini adalah level duka.
Dimana saya melihat segala sesuatu dari kaca mata duka. Kemudian lebih parah
lagi jika saya masuk ke level kesedihan. Saat otak sudah diframing dengan
segala macam kesedihan. Ini adalah level pemakaman dalam kehidupan saya. Lalu
satu level di atasnya, yaitu ketakutan. Dimana saya merasa khawatir, tidak ada
lagi harapan tidak ada lagi pencerahan.
Setop! Saya merasakan sedemikian terpuruk. Saya berpikir
saatnya saya bangkit bertransformasi ke zona berbeda. Saya berusaha menyebarang
ke zona energi positif. Di 200 atau 250 dimana bisa merasa netral. Zona saya
menerima keadaan bahwa sedang berhadapan dengan Covid. Saya harus mau
bersahabat dengan Covid bahkan mengalahkannya. Saya harus berada pada posisi
High Energy. Saya berusaha menetralisir diri. Setelah mendapatkan netralitas,
diatasnya ada satu tingkat lebih tinggi yaitu kerelaan. Bukan hanya ikhlas
tetapi juga berusaha mengobati diri kita sendiri. Punya semangat. Lalu naikan
lagi level ke level 350 dimana saya mulai bisa menerima apa pun yang terjadi.
Saya piker jika kita mampu naikkan lagi otak pada level 400 dimana secara logik
otak akan bekerja mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran maka saya berhak
memberikan hadiah nobel pada diri saya sendiri.
Saya berusaha mencapai level 500 menuju energi kebaikan,
energi spiritual, yaitu rasa ikhlas, ketenangan, ketentraman, merasakan kedamaian
berzikir, tafakur, beristiqfar dan puncaknya kita berada pada level 700 enlight
terang benderang meski tubuh masih dikuasai Covid.
Bagaimana mencapainya? Yakni fokus pada suasana hati ikhlas,
tenang, hindari suasana low energy, keluarga harus mendukung jangan keluar
kata-kata yang mengenyebakan kita terburuk kembali, jangan membaca sosial
media, menonton TV dengan konten-konten negatif. Tarik napas pelan-pelan, fokus
pada alam tenang, katakan pada diri, saya sehat, tegakan bahu, katakana saya
kuat, kepalkan lagi tangan katakana terimakasih Ya Allah, Saya Sudah Sehat.
Hari ke 12 masa isolasi kondisi saya semakin membaik.
Sesekali saya membuka What App kantor untuk mengecek keadaan. Yang
ringan-ringan saja memantau keseharian tim yang setiap hari tetap setia
menyelesaikan tugas-tugas mereka meski saya tidak berada di tempat. Jika ada
pesan yang kurang baik dan mengganggu proses penyembuhan saya langsung close
dan matikan saja. Saya masih ingin focus pada masa penyembuhan.
Hari-hari itu lebih menyenangkan, badan mulai terasa ringan,
pikiran tenang, deman dan pusing sudah lama berlalu. Nafsu makan saya pun sudah
kembali seperti sedia kala. Kepada Adik yang memang setiap hari bekerja di
rumah sakit itu saya minta dibawakan masakan rumahan. Ikan asin, tempe goreng
hingga sambal buah saya lahap habis. Pagi itu saya telpon ibu mengabarkan
keadaan. Dari balik telpon saya merasakan kebahagiannya mendengar keadaan yang
makin membaik. Demikian dengan istri dan anak-anak yang turut mengungsi ke
Palemabang hampir dua pekan ini. Sekali-sekali istri mengirim video lucu anak
perempuan kami yang baru berusia 2 tahun dan kakaknya yang berusia 7 tahun.
Kegirangan mereka menambah semangat saya untuk sembuh.
Bangkit, Pastikan Jiwa mu, Pikiran mu masih milik mu!
Para medis mengkategorikan tiga jenis orang yang menderita
Covid, yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG) atau tanpa keluhan berarti, menengah
dengan gejala demam, sakit kepala, badan nyeri dan ketiga berat dengan gangguan
pernapasan (pneumonia) sempurna sakitnya. Saya termasuk yang menengah. Apa pun
gejalanya, intinya jika kita mengalami fase ke dua dan ketiga, kita tidak lagi
memiliki tubuh kita. Tubuh kita sepenuhnya diambil alih oleh mister Covid-19.
Lalu apa yang kita miliki lagi? Bukan tubuh
tapi jiwa kita. Hanya itu yang masih bisa kita kendalikan. Jika gagal
mengendalikan jiwa dan pikiran maka kita akan selesai atau bahkan berakibat
lebih buruk lagi.
Data resmi pemerintah di Bulan Juni menyebut jumlah pasien
yang meninggal setelah terpapar Covid-19 terus bertambah dibanding hari hari
sebelumnya. Data pemerintah menunjukkan terdapat 335 orang meninggal akibat
Covid-19 di medio Juni. Berdasarkan data tersebut saat ini jumlah total angka
kemarian akibat Covid-19 mencapai 55.291 orang.
Berdasarkan pengamalaman saya mempraktikan teknik yang
diajarkan pakar Emotional Spiritual Question (Kecerdasasan Spiritual) Ari
Ginanjar Agustian, ada 5 (lima) langkah mental dan spiritual diluar upaya-upaya
medis dan saran dokter.
Pertama, pastikan otak kita berada pada Alfa Mode, yaitu
gelombong 7 sampai dengan 14 Hz. Gelombang damai dan tenang. Dua, hindari
gelombang 13 sampai dengan 32 Hz yang membuat kita harus berpikir keras. Kita
tidak perlu menjadikan diri kita analis penyakit dengan browsing tentang
Covid-19 yang sedang kita derita. Dokter ahli saja memerlukan puluhan tahun
untuk mempelajari suatu penyakit. Sementara pandemi Covid-19 ini jenis penyakit
baru yang ditemukan di dunia. Tidak akan ditemukan oleh kita yang mengandalan
paket data 3 atau 4 giga saja. Yang timbul justru rasa panik, khawatir, takut
artinya kita sudah memaksakan otak kita pada gelombang gamma 32-100 Hz.
Dalam keadaan seperti maka mulai hindarilah media sosial
What App dan lain sebagainya. Silahkan masuk ke dalam diri kita, tinggalkan
dulu dunia sehari-hari kita. Beri pemahaman kepada orang sekitar bahwa kita
sedang butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Pekerjaan-pekerjaan di kantor hanya
akan menambah beban dan memperlambat proses penyembuhan. Dukungan orang sekitar
sangat dibutuhkan untuk kesembuhan penyintas Covid-19 dari sisi kejiwaan.
Bukan hanya berita-berita yang negatif, bahkan tayangan TV
pun harus dipilih yang menyehatkan yang berada pada dimensi Alfa seperti kisah
hewan, binatang, kisah perjalanan. Pastikan gelombang otak kita seperti air
mengalir yang sejuk, dingin membasuh jiwa dan lebih jauh usahakan gelombang
otak berada pada dimesi Teta lebih dalam dalam gelombang Alfa 4 hingga 3 Hz.
Itu disebut Ari dengan gelombang otak Deep Meditioan
Saya mulai berzikir perlahan, tafakur menyesali diri,
mengingat kekhilafan-khilafan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Waktu
isolasi yang panjang adalah kesempatan untuk mempertajam sisi spiritual melalui
kajian-kajian keagamaan online yang selama ini diabaikan. Mulai dari fikih
wudhu yang benar, sholat yang khusuk hingga hati yang ihklas menjalani
kehidupan selaku manusia.
Doa Al Maksurat yang di kirim Asisten I Setda OKI, H.
Antonius Leonardo saya baca pagi dan petang agar makin tenang. Terbesit dalam
benak saya mau Allah coba dengan ujian sehebat apa lagi yang bisa membuat pintu
hati terbuka. Fabiaya Ala Irobbikuma Tukaziban demikian merdu penggalan surat
Ar Rahman yang di bacakan Ustadz Hanan Attaki yang saya dengar agar bisa tidur
lelap.
Berwudhu, munajat dan sholat adalah momen terindah untuk
intropeksi diri. Mungkin selama ini ada hal-hal yang salah dalam hidup, rasa
syukur yang kurang, sikap pongah dan ujub selaku manusia. Tidak ada pekerjaan
dan persoalan yang tidak bisa kita selesaikan. Namun ketika mahluk Allah yang kecil,
kasat mata bernama Covid-19 itu menggerogoti tubuh semua hilang, semua percuma
dan sia-sia kita hanyalah mahluk lemah tanpa daya upaya tanpa pertolongan NYA.
Kesembuhan Spiritual
Berjuang jadi penyintas Covid bukan soal fisik dan urusan
medis saja, lebih jauh yaitu adalah perperangan jiwa, mental dan spiritual.
Dengan ketenangan dan mendekatkan diri, penyintas Covid bisa menerima setiap
kondisi dengan penuh keyakinan melalui komunikasi vertical melalui
keyakinannya. Jika kita bisa mengambil hikmah selaku penyintas Covid-19 maka
itulah kesembuhan spiritual yang sebenarnya.
Pasien yang mengalami perawatan dalam penanganan inveksi
Covid-19 memerlukan semangat dan daya juang untuk sembuh. Tidak hanya dapat
dilakukan melalui perawatan fisik saja. Pendekatan spirutualitas sesuai agama
yang dianut sangat membantu proses penyembuhan.
Metode yang mengintegrasi dimensi psikologis dan
spiritualitas untuk penyembuhan (self Healing) memberikan efek ketenangan
sehingga bisa menenangkan diri dari gejolak jiwa dan ketakukan. Kesendirian
saat masa isolasi adalah dua sisi mata pisau yang berbeda. Jika salah
menggunakannya maka akan jadi pisau yang membunuh penyitas Covid itu sendiri.
Namun jika berhasil, dia akan menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan Covid-19.
Lulus dan menjadi alumni Covid-19 bukanlah sebuah kebanggan, bukan juga kehinaan. Mengambil pelajaan dari setiap peristiwa paling utama. Bisa jadi Tuhan ingin menyentil kita agar kembali ke pada NYA melalui mahluk tidak kasat mata bernama Covid-19.
Adi Yanto (Penyintas Corona Virues Desease)
Tidak ada komentar
Posting Komentar