'Bekunci' Cara Warga Jermun OKI Lockdown dari Pandemi
Kayuagung - Istilah lockdown makin populer seiring semakin meluasnya wabah virus Corona di dunia. Kata Lockdown digunakan untuk menjelaskan suatu upaya pengendalian penyebaran infeksi. Mengacu pada penjelasan pemerintah, lockdown mengharuskan sebuah wilayah menutup akses masuk maupun keluar sepenuhnya.
Masyarakat di wilayah yang diberlakukan
lockdown tidak dapat lagi keluar rumah dan berkumpul, sementara semua
transportasi dan kegiatan perkantoran, sekolah, maupun ibadah akan
dinonaktifkan.
Definisi lockdown sebenarnya belum
disepakati secara global. Penerapan pun berbeda di setiap wilayah.
Di Tiongkok misalnya lockdown diterapkan
secara total. Selama diberlakukan lockdown, seluruh warga di kota tersebut
dilarang keluar rumah dan semua area publik, seperti mal dan pasar, ditutup.
Sementara di Spanyol dan Italia,
kebijakan lockdown di sana masih memperbolehkan warganya pergi keluar rumah
untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan membeli obat-obatan.
Lain lagi di Indonesia, Pemerintah mengenalkan
istilah PSBB atau singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan Oscar Primadi sebagaimana dilansir dari Antara menyebutkan PSBB
sejatinya berbeda dengan karantina wilayah (lockdown), di mana masyarakat tidak
diperkenankan untuk beraktivitas di luar rumah namun bersifat lebih ketat
daripada imbauan jaga jarak fisik (fisical distancing).
Nun Jauh sebelum istilah lockdown maupun
PSBB tenar, Warga Desa Jermun Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir sejak
puluhan tahun lalu telah mengenal istilah 'bekunci'
Bekunci merupakan rangkaian dari prosesi
upacara adat 'sedekah ubat' yang digelar dalam rangka mencegah wabah penyakit.
Ritual sedekah ubat digelar dalam
rangkaian 4 hari. Dimalam hari pertama disebut dengan Tolak Balak. Dimalam itu
selepas magrib, tua, muda, bahkan anak-anak diajak berkumpul di tanah lapang
untuk mengikuti ritual sedekah obat.
Sekelompok pemuda mengelilingi warga
yang berkumpul itu dengan kayu memali sejenis kayu gaharu yang telah dikupas
bersih.
Kayu tersebut disusun rapi mengurung
warga peserta ritual sedekah obat.
Jika telah masuk waktu ritual, tidak
seorang pun diperbolehkan keluar masuk dari lingkaran tersebut.
Berselang beberapa menit ketua adat desa
pun keluar dengan membawa teko besar berisi air yang sudah dicampur rempah daun
paya.
Di belakangnya berbaris anak-anak muda
yang membawa teko dengan ukuran yang sama. Air dalam teko tersebut lalu
dipercikan satu per satu kepada tiap warga.
Keesokan harinya hingga hari ketiga
warga harus berpantang, yaitu dilarang pergi ke sawah ataupun ke kebun bahkan
dilarang keras memegang senjata tajam.
Warga percaya, bila dilanggar akan
mendatangkan mara bahaya apalagi di hari ketiga yang disebut dengan pantang
perit (pantang ketat), warga dilarang melakukan aktifitas berat.
Selama 3 hari berturut-turut itu,
menjelang maghrib, setiap rumah menyalakan api dengan sabut kelapa sebagai
simbol mengusir setiap mara bahaya. Ritual ini dilakukan oleh Kepala Keluarga
atau anak laki-laki. Malam harinya, tidak ada seorang wargapun yang berani
keluar rumah.
Selain menyalakan api, kepala keluarga
juga memasang bambu kuning yang diselipkan di atap plafon rumah. Bambu kuning
itu melambangkan keberanian dan kesejahteraan.
Banyaknya bambu kuning yang melekat di
atap rumah, menggambarkan sudah berapa kali penghuni rumah tersebut mengikuti
sedekah obat.
Di hari keempat selepas berpantang,
digelar sedekah dawet. Warga yang mampu membuat kolak dawet di rumah masing-masing
lalu dibagikan ke warga yang kurang mampu serta jiron tetangga.
Selain dawet, Hidangan lain yang
disediakan juga unik. Ada lemang yang terbuat dari tepung beras yang dimasukkan
ke dalam bambu lalu dibakar di atas tungku api. Ada sagon yang terbuat dari
tepung terigu dicampur kelapa dimasak dengan gula pasir.
Ada juga gulo puan, yaitu hasil
permentasi susu kerbau yang jadi ciri khas kecamatan Pampangan. Hidangan yang
disediakan menurut warga memiliki makna tersendiri dan jarang dimasak kecuali
digelaran sedekah ubat.
Hidangan disiapkan secara bersama-sama.
Warga dengan ikhlas menyisihkan rezeki sekedar membuat dan membawa sejumlah
hidangan, untuk disantap bersama seusai upacara.
Tidak ada jarak yang memisahkan baik
miskin, kaya, tua, dan muda. Semua larut dalam kebersamaan.
Semua kebutuhan sedekah ditanggung
bersama sama bahkan dimasak dengan bersama-sama pula.
Semasa pandemi corona dan Bulan Suci
Ramadhan warga Jermun memang tidak melaksanakan prosesi sedekah ubat. Mereka
patuh pada himbauan fisical distancing oleh pemerintah.
Meski demikian, sejak awal pandemi
mereka telah 'bekunci' tidak keluar kampung jika bukan karena urusan
penting.
Untuk kebutuhan sehari-hari mereka makan
dari sumber daya alam yang ada. Sayur mereka ambil dari pekarangan rumah atau
kebun. Jika ingin makan ikan, mereka cukup turun ke sungai memancing atau
melempar jala. Hidup sederhana yang sudah biasa mereka jalani jauh sebelum
pandemi.
Kepala Desa Jermun, Abus Roni mengatakan
untuk menjaga desa dari virus corona dia mendirikan pos jaga. Di pos itu warga
bergantian berjaga. Setiap pendatang dicek dan diperiksa oleh bidan desa.
Sampai kini belum ada warganya yang
terpapar corona ujar Abus. Hal itu karena kehidupan mereka yang sederhana dan
patuh pada ajaran leluhur.
Bekunci bukan hanya untuk menyelamatkan
diri sendiri tapi saling jaga untuk sesama.
Adi Yanto
Plt. Kepala Bidang Pelayanan Komunikasi Publik, Diskominfo OKI
Tidak ada komentar
Posting Komentar