Kajang, Perahu Rakyat Sriwijaya
Kayuagung -Kajang, perahu tradisional khas Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ternyata menjadi sarana transportasi favorit masyarakat perairan, khususnya sungai, pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal itu disampaikan arkeolog dan peneliti Nurhadi Rangkuti ketika dikonfirmasi Simbur beberapa waktu lalu.
“Benar. Kajang jadi alat transportasi sungai zaman Sriwijaya. Saya pernah mendokumentasikan (hasil penelitian) tentang (perahu Kajang) itu. Sayang sekali mungkin sekarang (perahu Kajang) sudah punah, sudah tidak ada lagi,” ungkapnya.
Dalam buku Kehidupan Purba di Lahan Gambut yang disusun Bambang Budi Utomo pada 2015 mencantumkan artikel terkait jejak perahu Kajang sebagai transportasi rakyat pada masa Kerajaan Sriwijaya. Pemukiman Air Sugihan diduga sudah ada sejak abad I dan berlanjut sampai dengan abad XIII.
Sehubungan dengan itu, dalam artikelnya Nurhadi Rangkuti menulis bahwa budaya tungku keran dan perahu Kajang yang pernah eksis di wilayah perairan Kabupaten OKI adalah bukti bahwa wilayah tersebut berhubungan dengan migrasi orang Austronesia. Kemungkinan leluhur masyarakat OKI memiliki tradisi penjelajah bahari Austronesia yang berlanjut pada masa Kerajaan Sriwijaya di Pesisir Timur Sumatera.
Dilansir laman Kemendikbud, perahu kajang merupakan alat transportasi tradisional sekaligus menjadi rumah pada masa lampau bagi masyarakat di sekitar Sungai Musi. Diduga, alat transportasi tradisional ini berkembang sekitar masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi). Jenis perahu ini berasal dari daerah Kayu Agung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pada masa lalu perahu kajang banyak dijumpai di Sungai Musi Palembang, tetapi sekarang sudah tidak dapat dijumpai lagi.
Perahu Kajang menggunakan atap dari nipah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (kajang tarik), bagian tengah adalah atap yang tetap (kajang tetap) dan atap bagian belakang (tunjang karang). Bahan yang digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah kayu jenis kayu rengas, yang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah tersebut. Panjang perahu sekitar delapan meter dan lebar perahu dua meter. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut selungku, merupakan ciri khas perahu Kajang.
Keberadaan atap (kajang) dari daun nipah inilah yang menjadi cikal namanya. Layaknya sebuah rumah tinggal, perahu memiliki ruang tengah tempat anggota keluarga beristirahat. Pada bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Barang-barang muatan serta ruang kemudi berada di bagian depan perahu. Tata ruang perahu terdiri dari bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan merupakan ruang untuk menyimpan barang-barang komoditas yang dijual, seperti barang tembikar dan untuk kemudi. Bagian tengah adalah ruang keluarga untuk tempat tidur. Bagian belakang adalah kamar mandi dan dapur.
Perahu kajang memiliki dayung dan kemudi yang terbuat dari kayu. Panjang dayung sekitar tiga meter, sedangkan panjang kemudi sekitar dua meter. Dayung dibuat dari kayu yang lebih ringan, sedangkan kemudi dari kayu berat yang bagian tepinya diberi lempengan logam. Kemudi ditempatkan di bagian belakang, sedangkan dayung digunakan di bagian depan.
Ciri-ciri lain juga menunjukkan bahwa perahu ini merupakan tipe tradisi Asia Tenggara yaitu adanya lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Diperkirakan sejak masa awal atau proto Sriwijaya, perahu-perahu Kajang melaju di Sungai Komering, masuk ke Sungai Musi, dan lepas ke Selat Bangka, Laut Cina Selatan, hingga ke Laut Jawa. Selain membawa hasil bumi, Kajang juga membawa gerabah, seperti periuk yang terbuat dari tanah liat.
Sebaran perahu Kajang ditemukan di beberapa daerah di Malaysia, Vietnam, Jawa,dan Kalimantan. Saat Jakarta (Batavia) didirikan dan dibangun Belanda, ada pusat penjualan periuk dari daerah Kayuagung, kemudian daerah tersebut dinamai Tanjung Priok. Hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, diduga masih ada pedagang dan duta dari Kabupaten OKI berlayar ke Singapura dengan perahu Kajang. Informasi yang dihimpun, sejak tahun 1980 perahu asli Kajang pun mulai hilang.