Anggota BIN Palsu Jalani Sidang
Kayuagung - Tatang, seorang pecatan TNI yang pernah berpangkat Kapten, menjadi saksi dalam persidangan kasus kepemilikan senjata api ilegal yang dimiliki anggota Badan Intelijen Negara (BIN) gadungan, terdakwa M Hatta (60) di Pengadilan Negeri Kayuagung, Kamis (25/8).
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Bambang Joko Winarno, RA Asriningrum, H Jeily Saputra dan kuasa hukum terdakwa Yuniatri SH, saksi Tatang menyangkal jika dirinya yang menawari terdakwa menjadi anggota BIN dan membekalinya senjata api jenis FN. “Memang saya pernah 4 sampai 5 kali ketemu terdakwa di Jakarta, saya kenal dari senior saya Mayjen (Purnawirawan) Budiono, saat kenal dengan terdakwa saya memang mengaku anggota BIN dari basis TNI, saat itu saya mengaku berpangkal Kolonel,” kata saksi yang pernah menempuh pendidikan di AKMIL tahun 1993 ini.
Menurutnya, dirinya saat itu mengaku kolonel, karena teman-teman satu angkatannya yang masih aktif saat ini sudah berpangkat kolonel. “Yang menawari terdakwa jadi anggota BIN itu pak Budiono, kami ketemu di salah satu hotel Jakarta, masalah terdakwa mentransfer Rp 50 juta, itu saya tidak tau, karena itu urusan terdakwa dengan Pak Budiono,” akunya.
Terdakwa mengaku hanya disuruh oleh seniornya Budiono untuk membuatkan kartu BIN dan kartu izin penggunakan senpi untuk terdakwa. “Saya buat kartu BIN dan kartu Senpi itu sama teman saya Agus, dia pensiunan BIN dari Sipil, biayanya Rp 2,5 juta, saya cuma dapet Rp 500 ribu, saya tidak tahu kalau kartu BIN dan kartu senpi itu juga palsu, saya kira itu asli,” jelasnya.
Lanjut saksi, senpi itu diserahkan ke terdakwa Hatta langsung oleh Budiono, dirinya hanya memberikan suratnya saja. “Saya cuma yang membuat surat dan kartu senpi saja, kalau yang memberikan senpi itu langsung oleh pak Budiono, memang saat itu ada saya, Anton dan Lintang,” jelas Tatang yang dipecat dari TNI karena menembak anggota polisi ini.
Kesaksian Tatang ini, langsung dibantah oleh terdakwa, menurut terdakwa saksi Tatang memberikan keterangan bohong. “Dia bohong pak hakim, senpi itu diberikan langsung oleh Tatang berikut surat-suratnya, langsung kepada saya, saya ini korban pak hakim, saya ditipu, tolong saya pak hakim,” kata terdakwa yang berstatus PNS Kehutanan yang tinggal di Pakjo Palembang ini.
Keluarga terdakwa sempat emosi mendengar keterangan Tatang yang memberikan keterangan palsu, bahkan keluarga terdakwa sempat akan memukul saksi dan mengejarnya sampai ke mobil tahanan, beruntung aksi itu dapat diamankan oleh petugas keamanan pengadilan. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU Sholahudin, bahwa terdakwa ditangkap jajaran Polsek Indralaya Utara pada 24 April 2016, pukul 22.00, setelah mendapat informasi dari masyarakat bahwa terdakwa menembakkan senjatanya ke udara.
Saat terdakwa mengendarai mobil Fortuner warna putih, langsung dihadang oleh jajaran Polsek Indralaya Utara, saat digeledah dari dalam tas terdakwa ditemukan senpi jenis FN dengan 4 butir peluru. Saat dibawa ke polsek, terdakwa mengaku sebagai anggota BIN, dengan menunjukkan kartu BIN dan kartu izin kepemilikan senjata api peluru tajam.
Polisi kemudian berkoordinasi dengan BIN wilayah OKI-OI, ternyata nama terdakwa tidak terdaftar sebagai anggota BIN, sehingga diyakini, bahwa kartu BIN terdakwa palsu. Terdakwa mengaku kalau senpi itu didapat dari Tatang dan Budiono yang mengaku sebagai anggota BIN basis TNI di Jakarta, dengan syarat menyerahkan uang Rp 50 juta. Saat pengembangan polisi menangkap Tatang ternyata hanyalah pecatan TNI, sementara Budiono (DPO).
Atas perbuatan terdakwa yang memiliki senjata api tanpa izin, melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan, menyimpan dan menguasai senpi illegal, diancam pidana penjara 10 tahun,” tandasnya.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Bambang Joko Winarno, RA Asriningrum, H Jeily Saputra dan kuasa hukum terdakwa Yuniatri SH, saksi Tatang menyangkal jika dirinya yang menawari terdakwa menjadi anggota BIN dan membekalinya senjata api jenis FN. “Memang saya pernah 4 sampai 5 kali ketemu terdakwa di Jakarta, saya kenal dari senior saya Mayjen (Purnawirawan) Budiono, saat kenal dengan terdakwa saya memang mengaku anggota BIN dari basis TNI, saat itu saya mengaku berpangkal Kolonel,” kata saksi yang pernah menempuh pendidikan di AKMIL tahun 1993 ini.
Menurutnya, dirinya saat itu mengaku kolonel, karena teman-teman satu angkatannya yang masih aktif saat ini sudah berpangkat kolonel. “Yang menawari terdakwa jadi anggota BIN itu pak Budiono, kami ketemu di salah satu hotel Jakarta, masalah terdakwa mentransfer Rp 50 juta, itu saya tidak tau, karena itu urusan terdakwa dengan Pak Budiono,” akunya.
Terdakwa mengaku hanya disuruh oleh seniornya Budiono untuk membuatkan kartu BIN dan kartu izin penggunakan senpi untuk terdakwa. “Saya buat kartu BIN dan kartu Senpi itu sama teman saya Agus, dia pensiunan BIN dari Sipil, biayanya Rp 2,5 juta, saya cuma dapet Rp 500 ribu, saya tidak tahu kalau kartu BIN dan kartu senpi itu juga palsu, saya kira itu asli,” jelasnya.
Lanjut saksi, senpi itu diserahkan ke terdakwa Hatta langsung oleh Budiono, dirinya hanya memberikan suratnya saja. “Saya cuma yang membuat surat dan kartu senpi saja, kalau yang memberikan senpi itu langsung oleh pak Budiono, memang saat itu ada saya, Anton dan Lintang,” jelas Tatang yang dipecat dari TNI karena menembak anggota polisi ini.
Kesaksian Tatang ini, langsung dibantah oleh terdakwa, menurut terdakwa saksi Tatang memberikan keterangan bohong. “Dia bohong pak hakim, senpi itu diberikan langsung oleh Tatang berikut surat-suratnya, langsung kepada saya, saya ini korban pak hakim, saya ditipu, tolong saya pak hakim,” kata terdakwa yang berstatus PNS Kehutanan yang tinggal di Pakjo Palembang ini.
Keluarga terdakwa sempat emosi mendengar keterangan Tatang yang memberikan keterangan palsu, bahkan keluarga terdakwa sempat akan memukul saksi dan mengejarnya sampai ke mobil tahanan, beruntung aksi itu dapat diamankan oleh petugas keamanan pengadilan. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU Sholahudin, bahwa terdakwa ditangkap jajaran Polsek Indralaya Utara pada 24 April 2016, pukul 22.00, setelah mendapat informasi dari masyarakat bahwa terdakwa menembakkan senjatanya ke udara.
Saat terdakwa mengendarai mobil Fortuner warna putih, langsung dihadang oleh jajaran Polsek Indralaya Utara, saat digeledah dari dalam tas terdakwa ditemukan senpi jenis FN dengan 4 butir peluru. Saat dibawa ke polsek, terdakwa mengaku sebagai anggota BIN, dengan menunjukkan kartu BIN dan kartu izin kepemilikan senjata api peluru tajam.
Polisi kemudian berkoordinasi dengan BIN wilayah OKI-OI, ternyata nama terdakwa tidak terdaftar sebagai anggota BIN, sehingga diyakini, bahwa kartu BIN terdakwa palsu. Terdakwa mengaku kalau senpi itu didapat dari Tatang dan Budiono yang mengaku sebagai anggota BIN basis TNI di Jakarta, dengan syarat menyerahkan uang Rp 50 juta. Saat pengembangan polisi menangkap Tatang ternyata hanyalah pecatan TNI, sementara Budiono (DPO).
Atas perbuatan terdakwa yang memiliki senjata api tanpa izin, melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan, menyimpan dan menguasai senpi illegal, diancam pidana penjara 10 tahun,” tandasnya.