Pernyataan Sikap Spirit Prasasti Talang Tuwo Selamatkan Bumi
Kayuagung - Sejumlah organisasi
lingkungan hidup, para pekerja budaya,akademisi, aktifis, lembaga budaya,
aktifis kemanusiaan, serta pribadi-pribadi yang peduli dengan masa depan Bumi
dan pekerja seni di Palembang membuat pernyataan sikap dalam rangka
memperingati 15 abad lahirnya prasasti talang tuwo tepatnya 23 Maret 684 Masehi.
Berikut isi dari pernyataanya :
Pertama, menghimbau atau meminta
para pemimpin dunia, pelaku ekonomi baik besar maupun kecil, serta seluruh
bangsa di dunia, untuk menjadikan isi Prasasti Talang Tuwo sebagai spirit
bersama menyelamatkan Bumiuntuk kemakmuran dan keselamatan manusia dan makhluk
hidup lainnya pada hari ini dan mendatang.
Kedua, kepada para pemimpin
negara dan bangsa di Asia Tenggara untuk menyelamatkan dan menjaga semua situs
atau peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya, sehingga Kerajaan Sriwijaya terus
menjadi inspirasi bangsa di Asia Tenggara untuk memakmurkan manusia dan makhluk
hidup lainnya dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Ketiga, kepada para pemimpin
dan bangsa Indonesia hendaknya tidak mengikari amanat Prasasti Talang Tuwo.
Keempat, kepada seluruh bangsa
di dunia hendaknya terus menjaga perdamaian. Kami percaya hanya kehidupan yang
damai yang mampu menjaga masa depan Bumi.
Kelima, marilah kita terus
berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hendaknya dibukakann hati dan pikiran mereka
yang terus merusak Bumi agar mereka kembali menjaga Bumi seperti yang
diperintahan Tuhan Yang Maha Esa.
Najib Asmani Pakar Lingkungan dari Universitas Sriwijaya, saat ini kondisi Bumi kian rusak.
Kemakmuran yang ingin dicapai manusia pada hari ini, tampaknya tidak sejalan
dengan visi atau niat yang diamanatkan raja Kerajaan Sriwijaya.
Menurutnya, upaya kemakmuran yang
dilakukan tidak diimbangi dengan
pelestarian lingkungan hidup. Akibatnya masa depan Bumi terancam; pemanasan
global yang kemudian berujung pada krisis pangan.
Ironinya kata Najib, Asia Tenggara,
khususnya Indonesia, yang dulunya makmur dan alamnya terjaga selama Kerajaan
Sriwijaya berkuasa, saat ini kondisi alamnya terus mengalami kerusakan.
Kebakaran, perambahan hutan dan lahan gambut, serta eksplorasi mineral yang
masif terus berlangsung setiap menit di Indonesia.
Bahkan kata dia, pengrusakan alam di Indonesia tersebut bukan
hanya menyebabkan kerusakan ekologi, juga menghancurkan bukti-bukti sejarah,
seperti situs sejarah Kerajaan Sriwijaya di wilayah gambut Sumatera Selatan,
Jambi hingga ke Riau. Bahkan beberapa masyarakat adat pun mulai kehilangan
identitas dan wilayahnya.
“Kerusakan ini juga berlangsung pada
wilayah lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Bali,
hingga Papua,”katanya.
15
abad yang lalu, tepatnya 23 Maret 684, pemimpin pertama Kerajaan Sriwijaya telah
meletakan dasar nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan hidup;
memanfaatkan kekayaan alam atau isi Bumi untuk kemakmuran manusia bersama
makhluk lainnya dengan tetap menjaga kelestarian alam. Sikap ini terpatri dalam
Prasasti Talang Tuwo.
Katanya, Pembuatan prasasti yang
menandai pembangunan Taman Sriksetra oleh Sri Baginda Śrī Jayanāśa, bertepatan
dengan peristiwa matahari tepat berada di atas khatulistiwa atau biasa disebut
Ekuinoks Maret.
Pembuatan
Prasasti Talang Tuwo dilakukan dua tahun setelah penetapan wanua Sriwijaya
(Palembang) yang terbaca melalui Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682), dapat
dikatakan sebagai pijakan ideologi pembangunan yang dilakukan Kerajaan
Sriwijaya yang akhirnya terbukti selama beberapa abad membangun peradaban luhur
di Asia Tenggara.
Prasasti
Talang Tuwo ditemukan Residen Palembang Louis Constant Westenenk pada 17
November 1920 di Talang Tuwo, Talang Kelapa, Palembang. Saat ditemukan keadaan
fisik prasasti cukup baik, yang berukuran 50 centimeter x 80 centimeter.
Prasasti berangka 606 Saka (23 Maret 684 Masehi) dengan tulisan menggunakan aksara Pallawa yang berbahasa Melayu,
yang terdiri 14 baris.Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia
di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p.
Berikut
terjemahan Prasasti Talang Tuwo yang dilakukan George Coedes;
“Pada
tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan
Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat
baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohonkelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam
pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan
sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan
kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk
kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi
mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar
waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta
air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya).
Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga
budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak
tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari
penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua
hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka
tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia.
Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada
pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah.
Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik;
semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (...) dari Tiga
Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga
senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga
dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian
berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki
pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya,
bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan
juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap,
berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan,
suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya
berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai
kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda,
dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.” (RM)
LEMBAGA/PERORANGAN PENDUKUNG PERNYATAAN SIKAP
No.
|
Nama
|
Lembaga
|
1.
|
Dr. Najib Asmani
|
Pakar lingkungan Unsri/Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
|
2.
|
Taufik Wijaya
|
Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup/Mongabay Indonesia
|
3.
|
Nurhadi Rangkuti
|
Arkeolog/Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
|
5.
|
Erwan Suryanegara
|
Budayawan
|
6.
|
Dr. Yenrizal
|
Akademisi UIN Raden Fatah/Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
|
7.
|
Rustandi Adriansyah
|
Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan
|
8.
|
Dodi Suwandi R
|
Pekerja seni/Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
|
9.
|
Ade Indriani Zuchri
|
Sekjen Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
|
Anwar Sadat
|
Serikat Petani Sriwijaya/Lingkar Hijau
| |
10.
|
Made Ali
|
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riu (Jikalahari)
|
11.
|
Dian Maulina
|
Akademisi/Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup
|
12.
|
JJ Polong
|
Pekerja seni/Spora Intitute/Pekerja Budaya
|
13.
|
Adiosyafri
|
Hutan Kita Institute (HaKI)
|
14.
|
Sigit Widagdo
|
Hutan Kita Institute (HaKI)
|
15.
|
Bahtiyar Abdullah
|
Dusun Sembilan
|
16.
|
Muhammad Isa
|
Kebun Bumi
|
17.
|
Saudi Berlian
|
Pekerja budaya/Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat,
Agama, dan Budaya “Puspamaya”
|
18.
|
NurhayatArif
|
Pekerja seni/Tavern Artwork
|
19.
|
Conie Sema
|
Pekerja seni/Teater Potlot
|
20.
|
Putut Prabu (Fuad Firdaus)
|
Pekerja seni
|
21.
|
Dedek Chaniago
|
Direktur SDA Wacth
|
Dst
|