Jembatan Ampera, Ikon Wisata Kota Palembang
KAYUAGUNG RADIO - Propinsi
Sumatera Selatan dengan ibukotanya Palembang memiliki beberapa ikon
pariwisata yang tak kalah hebat dengan propinsi lain di Indonesia.
Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang menghubungkan wilayah seberang ulu
dan
seberang ilir, ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Keduanya merupakan urat nadi dan jantung kehidupan warga kota
palembang sejak dahulu hingga sekarang. Perahu ketek adalah salah
satu moda transportasi warga yang bisa mengantar hingga ke pelosok
kampung melalui anak-anak sungai musi. Jembatan Ampera yang kokoh
berdiri di atas sungai musi menjadi sarana bagi warga setempat untuk
mengais rejeki sehari-hari. Mulai dari tukang fotografer dengan Ampera
sebagai objek bidikannya, penarik perahu ketek yang mengantarkan
seseorang yang ingin berkeliling sungai musi, hingga para awak media
dari belahan nusantara yang ingin mengabadikan kemegahan jembatan dengan
singkatan Amanat Penderitaan Rakyat. Sekilas mari kita lihat sejenak
sejarah pembangunan Ampera.
Sejarah Jembatan Ampera
Pembangunan
jembatan dimulai pada bulan April 1962-1965, setelah mendapat
persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari
dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan ini pun
menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada
awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan
Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan
kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh
memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan
di atas Sungai Musi. Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun
1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada
saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.
Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan
anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan
Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Struktur Jembatan Ampera
Keistimewaan Jembatan Ampera
Pada
awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar
tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan.
Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua
bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya.
Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu
yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit. Pada
saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter
dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai
Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal
maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter
dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.
Hingga sekarang masyarakat palembang lebih suka memanggil jembatan ini dengan sebutan “Proyek Musi”. Sebagai salah satu ikon termegah di kota Palembang, Jembatan Ampera menjadi trademark para pelancong baik dari dalam maupun luar negeri. Namun seiring perkembangan zaman, padatnya arus lalu lintas yang melintas di atas jembatan ini seolah tak mampu lagi menampung kendaraan yang terus bertambah. Pemerintah daerah pun hingga kini terus berupaya segera merealisasikan pembangunan jembatan replika Ampera yang disebut proyek jembatan Musi III.
Bukan hanya kulinernya saja, Jika anda jalan-jalan ke Palembang, tidak lengkap rasanya jika belum mengabadikan diri berfoto di jembatan ini. Geliat perekonomian warga di pelataran jembatan Ampera memang sudah menjadi ciri khas tersendiri. Berbagai aktivitas masyarakat setempat mulai dari pedagang di Pasar 16 Ilir, hingga bongkar muatan perahu jukung dari pelosok desa dari berbagai kabupaten di Sumatera Selatan menjadi pemandangan sehari-hari. Maklum, Palembang memang terkenal sebagai kota dagang baik nasional maupun internasional. Beragam hasil bumi dan kerajinan masyarakat Palembang mudah anda temui di kota mpek-mpek ini.
Pelaksanaan SEA Games ke-26 pada November 2011, telah membuat semua mata nasional dan Asia, tertuju ke kota Palembang semakin membuat eloknya Jembatan Ampera. Jika anda jalan-jalan di bawah Jembatan Ampera ada tempat menarik lain yang bernama Pelataran Benteng Kuto Besak, salah satu peninggalan sejarah yang didirikan pada tahun 1780 oleh Sultan Muhammad Bahauddin (ayah Sultan Mahmud Badaruddin II). Gagasan benteng ini datangnya dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) atau dikenal dengan Jayo Wikramo. Proses pembangunan benteng ini didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat di Sumatera Selatan. Mereka pun menyumbang bahan-bahan bangunan maupun tenaga pelaksananya. Kini, berbagai acara kejuaran nasional atau sekedar promosi pariwisata sering di helat di Pelataran Benteng Kuto Besak yang menambah semakin apik dan meganya jembatan Ampera. Kurang afdol tidak melihat sendiri keelokan dan geliat perekonomian Jembatan Ampera, mari visit Sumatera Selatan.
Sumber :
id.wikipedia.org/wiki/Jembatan_Ampera
pipitfebri.blogspot.com