Batik Indonesia, Batik Dunia
Sekitar
lima belas tahun lalu, kain batik seperti hanya punya dua fungsi:
menjadi pakaian resmi untuk acara penuh urutan protokoler, atau menjadi
busana rumahan alias daster para ibu. Kepandaian dan kejelian para
desainer yang cinta budaya Indonesia membalikkan semua ‘kebiasaan’ itu.
Obin dan Edward Hutabarat menunjukkan bahwa kain batik telah mengalami
metamorfosis, mulai baju sehari-hari hingga gaun mewah, semua bisa
diwujudkan dari kain batik. Padu padan dengan kain lain, tabrak motif
dan juga teknik pecah pola membuat kain batik semakin cantik.
Aksi
pengakuan beberapa motif batik oleh negara tetangga seperti blessing in
disguise. Masyarakat Indonesia seperti digugah untuk semakin mengenal
budaya negeri sendiri. Usaha-usaha memeroleh pengakuan internasional
sebagai pemilik batik pun mulai dilakukan. Dan tahun lalu, Unesco
mengukuhkan Batik Indonesia sebagai warisan budaya.
Indonesia, Rumah Batik
Yayasan
Batik Indonesia memperingati Hari Batik Nasional 2011 dengan
menyelenggarakan World Batik Summit. Kegiatan bertaraf internasional ini
diisi konferensi soal batik dan pameran, diadakan di Jakarta Convention
Center. Diikuti sebelas negara, puncak acara adalah sebuah Malam
Pertunjukan Seni Budaya yang menampilkan karya perancang busana dari
Indonesia, Cina, Jepang, dan Malaysia menggunakan batik Indonesia asli.
Acara penutup ini sekaligus menunjukkan pencapaian akhir forum ini,
yaitu sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah asal
muasal batik di seluruh dunia, Indonesia is global home of batik.
Prosesnya, Bukan Motifnya
Banyak
yang salah kaprah, mengartikan bahwa batik hanyalah motif. Padahal yang
dimaksud sebagai batik adalah proses pembuatannya. Untuk semakin
memperdalam pengetahuan tentang hal tersebut, sutradara ternama Nia
Dinata membuat sebuah film dokumenter berjudul Batik, Our Love Story.
Masalah
para pembatik, proses pembatikan yang rumit, dan motif-motif warisan
yang harus dilestarikan diungkap dalam film tersebut. Beberapa perajin
batik dari Pekalongan, Cirebon, Lasem, Yogyakarta, dan Madura menjadi
narasumber. Menyaksikan film tersebut, terasa betul bahwa proses yang
harus dilakukan dari sehelai kain menjadi kain batik bukanlah hal
sederhana. Dimulai dari membuat pola, membatik, mewarnai, melorod, dan
menjemur, proses ini akan semakin rumit ketika desain motif membutuhkan
banyak warna. Tak heran, seorang perajin mengaku membutuhkan lebih dari
setahun untuk mengerjakan sehelai kain. Persoalan regenerasi pembatik
menjadi hal penting untuk memastikan bahwa batik akan selalu ada di
Indonesia. Daya tarik kerja di pabrik lebih besar dibanding jadi
pembatik, adalah salah satu “penghalang” terjadinya regenerasi pembatik.
Tak Hanya Kain
Perhatian
masyarakat pada batik memang makin besar. Meski masih jarang yang
peduli perbedaan batik tulis, batik cap, atau kain motif batik, bukan
berarti mereka acuh pada kekayaan Indonesia itu. Selain mulai banyak
yang gemar mengenakan busana batik dalam berbagai kesempatan, beberapa
anak muda mengakrabi lagi motif-motif asli Indonesia. Semakin banyak
yang paham tentang motif parang, mega mendung, sampai motif kompeni.
Batik khas juga digali kembali. Galeri Batik Jawa di Jakarta, misalnya
secara khusus memopulerkan lagi batik indigo.
Dengan semakin
besarnya animo masyarakat, batik lalu meluas, tak lagi hanya
diaplikasikan pada kain. Tahun lalu, deasiner Carmanita membatik sebuah
Mercedes C250 dengan motif sekar jagat. Inspirasi serupa diwujudkan
Mohammad Abduh, seorang pengusaha yang tinggal di Bekasi, untuk
memopulerkan furnitur batik, bahkan juga menerima pesanan gitar dengan
motif sesuai keinginan pelanggan. “Membatik di kain, sudah biasa, banyak
saingan. Jadi sejak tiga tahun lalu saya coba membatik di atas kain
jati atau kayu sonokeling. Semua proses pembatikan saya lakukan pada
furnitur saya, termasuk melorod dan mewarnai,” tutur Abduh yang
memasarkan produknya secara online lewat Rumahbatik.com.
Source: Goodhousekeeping, edisi November 2011, halaman 91- www.goodhousekeeping.co.id