Sulitnya Mencari Pengemis di Kayuagung Kabupaten OKI
KAYUAGUNG RADIO - Ibukota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang beberapa waktu lalu menerima Adipura terbaik ketiga di Indonesia, mungkin merupakan salah satu kota di Indonesia yang bebas dari gelandangan dan pengemis. Jika kita ke tempat keramaian, baik pasar tradisional, taman, masjid, maupun pertokoan, kita sulit sekali menemukan seorang pengemis.
“Beberapa tahun lalu, ada juga pengemis. Tidak banyak, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Umumnya mereka para pendatang. Selain karena ditertibkan oleh petugas dari dinas sosial, juga wong Kayuagung, khususnya OKI, sangat malu jika ada keluarga atau dirinya menjadi pengemis, meskipun hidup mereka susah,” kata Taslim, seorang warga Kayuagung.
“Bagi wong OKI apa pun mau dikerjakan, yang penting halal, dan jangan jadi pengemis. Sesusahnya hidup ya, jadi tukang ojek sepeda motor, kalau tidak mau menjadi buruh kebun,” katanya.
Selain itu, kita juga sulit sekali menemukan sebuah keluarga miskin yang menetap di rumah yang tidak layak. Baik yang berada di kawasan daratan maupun di tepi Sungai Komering. Bagi keluarga yang belum mampu memiliki rumah sendiri, dia akan menetap di rumah induk keluarga. Rumah panggung berukuran besar yang diturunkan para leluhur mereka. Rumah-rumah ini sama sekali tidak akan dijual, justru terus diperbaiki oleh anggota keluarga yang mampu. “Itu merupakan tradisi dari wong Kayuagung. Mereka sangat malu jika ada keluarga yang tidak punya tempat tinggal,” kata Darmansyah, warga Kayuagung lainnya.
Tapi, jika memang mereka tidak memiliki rumah yang tidak layak, maka pemerintah kabupaten OKI akan membantu dengan memberikan sebuah rumah panggung beserta isinya.
“Sebagai bupati saya bertanggungjawab terhadap kehidupan rakyat. Jika mereka hidup susah, tentu saja membuat saya sedih, dan saya akan berusaha semaksimal mungkin agar hidup mereka menjadi layak atau tidak miskin,” kata Bupati OKI H. Ishak Mekki.
Lalu, adakah orang miskin di Kabupaten OKI? “Tetap ada. Tapi sama sekali tidak ada yang menjadi pengemis atau gelandangan. Mereka yang miskin ini terus dibina agar hidupnya menjadi layak. Angka kemiskinan ini terus menurun,” kata Asisten II Kabupaten OKI Edward Candra, Kamis (28/06/2012).
Dijelaskan Edward, angka kemiskinan di OKI yang berpenduduk sekitar 600 ribu, mengalami penurunan. Bila tahun 2008 jumlah warga yang sangat miskin sebanyak 13.641 menurun menjadi 10.729 orang, miskin dari 35.576 menjadi 13.446, serta hampir miskin dari 29.467 menjadi 23.934.
Dijelaskan Edward, penurunan angka kemiskinan di OKI, selain karena adanya dukungan dari pemerintah dalam sejumlah program pengentasan kemiskinan, juga sektor perkebunan seperti karet dan kelapa sawit saat ini merupakan lapangan pekerjaan utama warga OKI, yakni sekitar 28,47 persen.
“Perlu diketahui harga karet meningkat dari tahun 2010 ke 2011 yaitu dari Rp 6.913 menjadi Rp 12.712 perkilogram. Begitu juga dengan harga buah kelapa sawit yaitu Rp 400 per kilogram menjadi Rp 900-1100 per kilogram,” kata Edward.
Dengan menurunnya angka kemiskinan, tak heran realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten OKI tahun 2011 melampaui target penerimaan yang telah ditetapkan yaitu dari target Rp 38,9 miliar menjadi Rp 47,3 miliar atau mencapai 121, 60 persen.
Target penerimaan pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan pedesaan di Kabupaten OKI Tahun 2011 sebesar Rp 1,7 miliar terealisasi Rp2,8 miliar atau mencapai 162 persen dari target.
Sementara itu Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yang ditargetkan Rp 1,2 miliar direalisasikan sebesar Rp2 miliar atau mencapai 168 persen.
Nah, guna mencapai target target penerimaan PBB tahun 2012 sebesar Rp21,1 miliar, pemerintah kabupaten OKI membantu keluarga miskin yang tidak mampu membayar PBB melalui PBB Gakin. Program ini ternyata berhasil. Bila tahun 2011 program mengeluarkan dana Rp90 juta, pada 2012 mengalami penurunan menjadi Rp 80,7 juta.
“Ini menunjukkan penurunan angka kemiskinan,” kata Edward.
“Beberapa tahun lalu, ada juga pengemis. Tidak banyak, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Umumnya mereka para pendatang. Selain karena ditertibkan oleh petugas dari dinas sosial, juga wong Kayuagung, khususnya OKI, sangat malu jika ada keluarga atau dirinya menjadi pengemis, meskipun hidup mereka susah,” kata Taslim, seorang warga Kayuagung.
“Bagi wong OKI apa pun mau dikerjakan, yang penting halal, dan jangan jadi pengemis. Sesusahnya hidup ya, jadi tukang ojek sepeda motor, kalau tidak mau menjadi buruh kebun,” katanya.
Selain itu, kita juga sulit sekali menemukan sebuah keluarga miskin yang menetap di rumah yang tidak layak. Baik yang berada di kawasan daratan maupun di tepi Sungai Komering. Bagi keluarga yang belum mampu memiliki rumah sendiri, dia akan menetap di rumah induk keluarga. Rumah panggung berukuran besar yang diturunkan para leluhur mereka. Rumah-rumah ini sama sekali tidak akan dijual, justru terus diperbaiki oleh anggota keluarga yang mampu. “Itu merupakan tradisi dari wong Kayuagung. Mereka sangat malu jika ada keluarga yang tidak punya tempat tinggal,” kata Darmansyah, warga Kayuagung lainnya.
Tapi, jika memang mereka tidak memiliki rumah yang tidak layak, maka pemerintah kabupaten OKI akan membantu dengan memberikan sebuah rumah panggung beserta isinya.
“Sebagai bupati saya bertanggungjawab terhadap kehidupan rakyat. Jika mereka hidup susah, tentu saja membuat saya sedih, dan saya akan berusaha semaksimal mungkin agar hidup mereka menjadi layak atau tidak miskin,” kata Bupati OKI H. Ishak Mekki.
Lalu, adakah orang miskin di Kabupaten OKI? “Tetap ada. Tapi sama sekali tidak ada yang menjadi pengemis atau gelandangan. Mereka yang miskin ini terus dibina agar hidupnya menjadi layak. Angka kemiskinan ini terus menurun,” kata Asisten II Kabupaten OKI Edward Candra, Kamis (28/06/2012).
Dijelaskan Edward, angka kemiskinan di OKI yang berpenduduk sekitar 600 ribu, mengalami penurunan. Bila tahun 2008 jumlah warga yang sangat miskin sebanyak 13.641 menurun menjadi 10.729 orang, miskin dari 35.576 menjadi 13.446, serta hampir miskin dari 29.467 menjadi 23.934.
Dijelaskan Edward, penurunan angka kemiskinan di OKI, selain karena adanya dukungan dari pemerintah dalam sejumlah program pengentasan kemiskinan, juga sektor perkebunan seperti karet dan kelapa sawit saat ini merupakan lapangan pekerjaan utama warga OKI, yakni sekitar 28,47 persen.
“Perlu diketahui harga karet meningkat dari tahun 2010 ke 2011 yaitu dari Rp 6.913 menjadi Rp 12.712 perkilogram. Begitu juga dengan harga buah kelapa sawit yaitu Rp 400 per kilogram menjadi Rp 900-1100 per kilogram,” kata Edward.
Dengan menurunnya angka kemiskinan, tak heran realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten OKI tahun 2011 melampaui target penerimaan yang telah ditetapkan yaitu dari target Rp 38,9 miliar menjadi Rp 47,3 miliar atau mencapai 121, 60 persen.
Target penerimaan pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan pedesaan di Kabupaten OKI Tahun 2011 sebesar Rp 1,7 miliar terealisasi Rp2,8 miliar atau mencapai 162 persen dari target.
Sementara itu Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yang ditargetkan Rp 1,2 miliar direalisasikan sebesar Rp2 miliar atau mencapai 168 persen.
Nah, guna mencapai target target penerimaan PBB tahun 2012 sebesar Rp21,1 miliar, pemerintah kabupaten OKI membantu keluarga miskin yang tidak mampu membayar PBB melalui PBB Gakin. Program ini ternyata berhasil. Bila tahun 2011 program mengeluarkan dana Rp90 juta, pada 2012 mengalami penurunan menjadi Rp 80,7 juta.
“Ini menunjukkan penurunan angka kemiskinan,” kata Edward.
Tidak ada komentar
Posting Komentar