PANGERAN BATUN
Menyaksikan langsung rumah Bari yang sekarang berdiri di kompleks permuseuman kota pelembang, banyak kisah menarik yang berkaitan dengan pemilik rumah itu, seorang pangeran dari Batun. Suatu kisah yang mungkin belum banyak di ketahui masyarakat umum.
Dengan penulisan ulang cerita ini, diharapkan dapat mengungkapkan sebagian peristiwa bukan saja menyangkut perjalanan rumah bari itu, tapi juga sekelumit pengalaman masyarakat OKI, tidak hanya berkaitan dengan kasus sosial tapi juga dalam kaitannya dengan peroses peradilan. Sumber utama penyusunan cerita ini adalah di peroleh dari Dinas Pariwisata OKI, karya Hadin Ali Pengeran Rumah Bari, serta dari sumber lain seperti beberapa peninggalan kesejarahan yang ada. Dengan pengungkapan peristiwa ini, selain untuk melengkapi data, juga meningkatkan minat kajian kesejarahan – terutama sejarah peradilan – secara lebih lengkap.
Pangeran dan Kekuasaannya
Pangeran Batun adalah salah seorang pejabat lokal yang secara kelembagaan berafiliasi pada kekuasaan kolonial Belanda. Ia berkuasa di Marga Sirah Pulau Padang Ogan Komering Ilir. Masa pemerintahannya berlangsung pada urutan ke delapan sepanjang masa pemerintahan Marga Sirah Pulau Padang. Gelar Pangeran di berikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada seorang pejabat tertinggi dalam pemerintahan Marga. Pejabat ini sebelumnya di pandang banyak berjasa kepada pihak kolonial.
Meski terlihat sederhana, untuk menjadi seorang pangeran yang baik di mata kolonial, bukanlah suatu masalah yang mudah. Disamping harus terpilih menurut versi orang Eropa itu, pangeran haruslah berasal dari seseorang yang memiliki kekayaan yang banyak, memiliki “ilmu” yang tinggi, serta kelebihan-kelebihan lain seperti kekuatan fisik dan mental. Dengan keberadaan itu, tidak sedikit orang menjadi iri terhadap keberadaan seorang Pangeran. Hal ini menimpa pangeran Batun, bahkan sangat mempengaruhi jalan kekuasaannya.
Pangeran Batun mempunyai banyak kegemaran. Salah satu di antara kegemarannya ialah bermain judi dan menyabung ayam. Pada masa itu memang banyak pejabat yang beranggapan bahwa bermain judi dan menyabung ayam itu sebagai hiburan.
Pangeran suka membagikan uang yang di perolehnya dari hasil judi dan sabung ayam kepada rakyat, terutama kepada gadis-gadis cantik. Banyak gadis yang tertarik dengan sifat pangeran ini. Tidak sedikit pula yang bersedia menjadi istri Pangeran. Keadaan ini menjadi keadaan umum, apalagi dikaitkan dengan sifat sebagian orang yang menginginkan kelimpahan materi berupa uang, harta serta mengharapkan jabatan atau status sosial.
Dari sekian gadis yang banyak berminat, pangeran memilih empat orang sebagai pendampingnya. Mereka cantik-cantik, tetapi seorang diantara mereka yang pada akhirnya menjadi duri dalam nasib kekuasaan Sang Pangeran. Ada seorang istrinya yang berhati dengki, bersifat tamak, serakah dan rakus.
Seorang pangeran adalah pemegang tampuk pimpinan Marga. Gelar Pangeran, seperti disebutkan terdahulu diberikan kepada seseorang kepala Marga yang telah banyak berjasa kepada pihak kolonial. Gelar lebih tinggi dari pangeran, adalah Raden, sedangkan gelar setingkat di bawah pangeran adalah Depati. Ketiga gelar ini, tidak terdapat dalam ketentuan kitab undang-undang Simbur Cahaya. Kekuasaan Marga di Sirah Pulau Padang, tempat Pangeran batun telah terbentuk sejak sekitar tahun 1800, dan dibubarkan bersama seluruh Marga lainnya di Sumatra Selatan pada melalui SK Gubernur No. 142/KPTS/III/1983, yang ditetapkan tanggal 24 Maret dan berlaku sejak 4 April 1983 (Ahad, 20 Jumadil Akhir 1403.
Istri Pangeran Batun
Suatu ketika, untuk mengatasi kekalahan dalam taruhan judi, Pangeran Batun menghabiskan judi, Pangeran Batun menghabiskan seluruh perhiasan istri muda. Kejadian ini membuat si istri muda menjadi marah. Dalam kemarahan itu dari hari ke hari mulai panik dan mulai menunjukkan tabiatnya yang asli. Terjadilah perselisihan antara pangeran dan istri mudanya itu. Pangeran Batun dengan sekuat tenaga berusaha mengumpulkan uang dengan harapan dapat menenangkan hati istrinya, juga berusaha menebus kekalahan nya di meja judi. Akan tetapi si istri belum dapat di yakinkan.
Sedang giat pangeran berusaha mengumpulkan dana, terjadilah peristiwa hilangnya pandai emas. Perahunya hanyut dan terdampar di ujung anak sungai. Pemiliknya tidak ditemukan. Peristiwa hilangnya pandai emas ini menjadi cerita yang sangat menggegerkan masyarakat. Selama ini, kawasan dalam Marga Panjang sangat aman dan jarang sekali terjadi pencurian, apalagi penghilangan orang. Tetapi dengan hilangnya pandai emas, masyarakat mulai merasa was-was. Bahkan mulai tumbuh saling menduga dan prasangka buruk.
Pandai emas itu memang orang baru bagi masyarakat Marga Panjang. Ia datang jauh, yaitu dari kota palembang. Ia datang ketempat itu menjajakan emas dengan perahu berkeliling dari satu dusun ke lain dusun. Meski penduduk dusun-dusun pada waktu itu masih sepi, bahkan banyak yang belum bernama. Tapi keadaannya yang aman menjadikan pandai emas menjadi leluasa bergerak kesana kemari membawa dagangannya.
Peristiwa pandai emas hilang telah terdengar oleh pihak kolonial belanda. Penyelidikan mulai dilakukan dengan gencar, dengan mengusut seluruh warga yang ada di daerah itu. Setiap orang dewasa di usut satu persatu. Mereka di bujuk ataupun di siksa dan diperlakukan dengan berbagai cara agar di peroleh informasi tentang pelaku penghilangan pandai emas itu. Tindakan pengusutan tidak membuahkan hasil sama sekali. Tidak diperoleh tanda-tanda yang menunjukkan ada warga yang terlibat.
Penyelidikan terus berlanjut dengan cara yang semakin tidak terarah (ngawur). Kesempatan ini merupakan peluang dari istri muda PangeranBatun untuk menyampaikan informasi melalui surat kaleng yang menuduh Pangeran Batun. Disebutkan, pangeran Batun yang memerintahkan dua orang penjudi bernama Ajir dan Rambut untuk membunuh pandai emas dan membuangnya di dasar sungai. Untuk melengkapi informasi sehingga lebih meyakinkan, disuruhlah orang untuk mengumpulkan tulang sapi yang dimasukkan kedalam kaleng lalu di kubur di lubuk sungai.
Pengadilan Pangeran
Peristiwa penghilangan pandai emas, akhirnya dibawa ke meja pengadilan. Tuntutan di ajukan semakin melebar karena mempertimbangkan kondisi Marga panjang yang dipimpin oleh Pangeran Batun.
Ajir dan Rambut, dua penjudi yang ditimpa tuduhan sebagai pelaksana penghilangan pandai emas mulai mengalami siksaan fisik dan mental. Kedua kaki dan tangannya di ikat. Apalagi malam tiba, keduanya di tempatkan di hutan rawa-rawa (rawang) yang sangat banyak nyamuk sehingga tubuh keduanya dipenuhi dengan bintik-bintik merah bekas gigitan nyamuk. Siksaan ini selanjutnya ditingkatkan dengan memindahkan mereka kedalam ruangan yang penuh dengan asap ataupun api, tetapi tetap tidak mengaku. Sementara itu rambut, karena tidak tahan menanggung siksaan terpaksa mengakui tuduhan yang ditimpakan pada dirinya.
Kembali pada pangeran Batun. Dari pemeriksaan awal di peroleh kesimpulan
- uang kas Marga telah kosong karena dipergunakan oleh pangeran untuk menutupi kekalahannya dalam berjudi;
- pangeran telah memerintahkan membunuh Pandai emas, dengan bukti adanya tulang berulang yang diperoleh dari dalam sungai;
- Pengakuan dari salah seorang tertuduh membenarkan keterlibatan pangeran sesuai tuduhan.
Setelah proses peradilan peadilan berlangsung dirumuskan “putusan sela” yang memutuskan bahwa “pangeran dihukum, jangan dilepaskan “ dan “ Digantung sampai mati”.
Seluruh harta benda pangeran Batun, termasuk rumah tempat tinngalnya disita dan dilelang dihadapan masyarakat umum. Rumah itu selanjutnya dibongkar dan dipindahkan ke samping benteng kuto besak di palembang yang kemudian di kenal umum sebagai rumah Bari. (menjelang tahun kunjungan wisata indonesia-visit indonesia year 1991 rumah itu di bongkar kembali dan dipindahkan ke kompleks permuseum palembang).
Mengajukan Banding
Putusan sela yang diputuskan pengadilan dirasakan sangat berat oleh pangeran, apalagi tidak disertai oleh bukti nyata. Tulang belulang yang di jadikan barang bukti, menurut keyakinannya adalah tulang-tulang sapi. Dengan mencucurkan air mata pangeran menolak keputusan pengadilan, dan mengajukan banding kelembaga pengadilan lebih tinggi di batavia (jakarta).
Dua orang lainnya, ajir dan rambut menuruti saja apa yang di putuskan pihak pengadilan. Mereka tidak bersekolah, dan masih sangat awam tentang seluk beluk hukum dan peradilan. Ajir yang tetap bertahan dengan pendirian tidak mengakui tuduhan ditimpakan kepada dirinya, dibebaskan dari tuduhan. Meski bebas, dalam keadaan sangat menderita akhirnya ia meninggal dunia. Sedangkan rambut di hukum masuk penjara di sawah lunto dengan masa hukuman selama 20 tahun. Beberapa tahun setelah hukuman berjalan, ia dipindahkan ke penjara nusakambangan sampai berakhir masa tahanan. Setelah kembali dari nusakambangan, Rambut telah sangat matang dan dewasa. Pada tangan kanannya di buat tato Anker (jangkar) yang di maksudkan sebagai simbol orang pernah mendapat hukuman berat. Dengan tanda itu dimaksudkan memudahkan orang mengenalnya bila ia melarikan diri, atau orang yang pernah menghuni penjara kelas tinggi .
Pangeran Batun, di bantu oleh pangeran Mat, mengajukan permohonan banding ke Batavia. Setelah di teliti lagi dengan cermat dan saksama, surat
permohonan banding pangeran batun dapat di terima dan di persidangkan.
Hasil persidangan memutuskan pernyataan bahwa pengajuan banding Pangeran diterima dan dibenarkan. Pangeran bebas dari hukuman gantung. Keputusan pada persidangan pertama pengadilan memutuskan “Pangeran dihukum, jangan dilepaskan” dan “Digantung sampai mati”. Setelah mengajukan banding serta permohonannya diterima pihak pengadilan maka keluar keputusan yang berbunyi “Pangeran dihukum jangan, dilepaskan” dan “Di gantung sapi mati”. (perhatikan letak koma pada rumusan pertama dan perubahan kata pada rumusan kedua).
Keputusan ini tentu sangat menguntungkan Pangeran karena menyangkut hidup dan matinya. Selanjutnya, Pangeran bebas dari tuduhan akan tetapi ia telah kehilangan jabatannya sebagai kepala Marga.
Tidak ada komentar
Posting Komentar